Skip to main content

Featured

Zidan Namanya

Zidan namanya. Pertama ketemu Zidan di tukang sempol ayam, dekat entrance 7 alun-alun Kota Bogor, tadi malam. Dia menawarkan donat, 1 pak isi 2 seharga Rp.5.000. Saya beli 1 pak dan menawarkan sempol ayam. Zidan mengangguk. Tadi pagi, di dalam alun-alun, saya bertemu Zidan lagi. Kali ini, dia tidak membawa donat, melainkan beberapa pak tissue. Saya tegur dia, "Hey, tadi malam jualan donat kan ya?" "Iya Bu, donat punya orang. Sekarang saya bawa tissue, ini juga punya orang. Ibu mau tissue?" Jawabnya. "Boleh deh satu", kata saya. Saya bayar tissuenya, " Ya Allah, makasih banyak Bu". Suara Zidan lirih. Hati saya teriris. Tiba-tiba seorang Ibu lewat sambil membentak, "Jangan di jalan dong!" Sorry, salah kami, ngobrolnya di jalur jalanan dalam alun-alun. Saya gandeng Zidan ke arah pilar taman, dan kemudian kami duduk ngobrol berdua. Kata Zidan ibunya sudah meninggal, ayahnya ngamen di alun-alun, dan kadang di Terminal Loji. "Bapak ngame...

Gambir sore itu

Seperti biasa, sore di Gambir selalu pengap, sesak, gerah dan bau keringat. Rengekan bocah, celoteh kaum komuter, lalu lalang orang dengan langkah tergesa, antrian panjang diloket tiket terlebih lagi pada hari jumat sore (loket tiket kereta ke Bandung selalu punya daftar antrian yang paling panjang), belum lagi announcer dengan suara pecah yang, demi Tuhan, sama sekali ngga merdu . Yaah, begitulah sore di Gambir. Selalu seperti itu.

Image hosted by Photobucket.com

Tapi ada suatu saat dimana Gambir tidak hanya seperti itu, dimana Gambir agak berbeda, lebih berwarna, lebih bergairah, biarpun lelah tetap membungkus sebagian besar kaum urban yang lebih memilih untuk bertempat tinggal didaerah-daerah penyangga Jakarta. Ketika sore di Gambir terasa lebih jingga, ketika penjaga peron terasa lebih ramah, ketika suara announcer tiba-tiba penuh dengan harmonisasi nada. Ketika itu, duduk diatas koran didalam kereta terasa jauh lebih nyaman ketimbang duduk diatas kursi kerja dikantor, suara riuh rendah penumpang seperti musik yang bernyanyi ditelinga, ketika itupun kerupuk kulit (hanya kerupuk kulit) dan segelas air mineral terasa lebih nikmat dari pada cemilan lain yang sering dibawa teman sekantor saya.

Yaa, ketika sore di Gambir seperti itulah saya selalu tidak sabar menantikan jam menunjukkan angka 5 (sore). Karena saya tahu, di Gambir telah menanti sore yang lebih jingga, suara-suara yang lebih merdu, dan letih yang terasa lebih manis. Pada saat itulah, saya lebih berharap kereta datang terlambat atau berjalan dengan kecepatan rendah agar dapat lebih lama merasakan nikmatnya duduk diatas koran, agar lebih lama dapat mendengarkan deburan yang bernyanyi dihati. Tapi ternyata kereta jarang sekali bisa memahami arti kompromi, pada saat itu justru ia datang tepat waktu dan berjalan dengan kecepatan penuh.

Sayangnya, sore yang ramah dan berbunga itu hanya berlangsung sangat sebentar untuk kembali pada sore yang biasa, yang hanya menyisakan lelah, pengap dan gerah. Dimana ketika saya selalu berharap kereta datang tepat waktu dan berjalan dengan kecepatan penuh, justru ia terus terlambat dan berjalan tanpa semangat :(


(…..yaah namanya juga kereta)

Comments

Ojan said…
lagi jatuh cinta ama penjaga peron ye?

Popular Posts