Skip to main content

Featured

Because White is Simple

  Simple white wooden open bookcase   4-Tier Wooden Open Bookcase - Modern Freestanding Bookshelf with Side Panels and Solid Wood Frame for Home and Office, Storage Cabinet, Warm White.  About this item DURABLE & STURDY - 1.6cm thick MDF board and 30mm diameter beech wood legs make the open bookshelf very sturdy and durable. Each shelf can hold at least 80lbs; USER-FRIENDLY DESIGN - Three 4.73" height side panels design on the edge of each tier shelf is high enough to keep your books neat, upright and keep items from slipping off. The rounded corners are designed to protect your family from injury. Anti-falling accessory included preventing injury from unexpected tipping of furniture; MULTI-PURPOSE SHELVING - You can place the shelving in the living room to display any crafts and decorations, in the study to store books or on the balcony for potted plants; ECO-FRIENDLY MATERIAL - The 4-tier bookcase is made of solid wood legs(beech) and P2 class environment protection plate a

Dari Sebutir Rambutan

Masalah bisa timbul hanya dari sebutir buah rambutan. Pada kenyataannya, banyak masalah berakar dari hal yang sangat sederhana, plain and simple

Singkatnya begini. Di sebuah kampung kekinian, modern, milenial, sebut saja Bojongsari, di kawasan Kota Depok, ada sebuah pohon rambutan yang sedang berbuah lebat, di kebun milik Bapak Haji dan Ibu Hajah. Beliau berdua merupakan guru (orang yang digugu dan ditiru, semestinya begitu) di sebuah yayasan pendidikan Islam milik keluarga. 

Suatu sore, Bapak Haji dan Ibu Hajah pulang ke rumah, entah baru kembali dari sekolah atau dari mana, saya tidak tahu. Mereka melihat beberapa orang anak remaja tanggung berada di bawah pohon rambutannya sambil makan sesuatu. Anak-anak remaja yang masih dalam proses belajar untuk tumbuh, mengenal dunia, belajar dari rumah, sekolah dan lingkungan sekitar. Anak-anak remaja yang belum matang pola pikirnya, masih mencari jati diri, masih butuh banyak bimbingan, konon dari orang tua, termasuk dari orang yang digugu dan ditiru. Bagi mereka, hitam putih masih belum terlihat jelas, banyak area abu-abu yang mereka tidak pahami. 

Melihat sekelompok anak remaja tanggung berada di propertinya, Ibu Hajah pun berinisiatif untuk merekam anak-anak remaja tanggung tersebut. Kemudian Bapak Haji dan Ibu Hajah memaki dan memanggil mereka maling, dan mengatakan bahwa rambutan yang mereka makan haram karena diperoleh dari mencuri. Secara hukum Islam seperti itu. Bapak Haji dan Ibu Hajah ingin menegakkan hukum Islam. Tidak salah. 

Tapi kemudian, sesuatu muncul di kepala saya. Benarkah menegakkan hukum Islam seperti itu?  Dengan mudahnya meneriaki maling hanya karena mengambil satu atau dua buah rambutan dari sekian banyak rambutan yang berbuah di pohonnya? Sudah cukupkah perbuatan itu untuk memberi label maling kepada anak-anak remaja tanggung, yang rasa ingin tahunya, rasa isengnya, bahkan nyalinya, kadang melebihi rasa takut mereka? Adilkah seperti itu? Hey, maling is a very strong word

Apakah Bapak Haji dan Ibu Hajah tadi betul-betul bicara berdasarkan ajaran Islam, ingin menegakkan hukum Islam, atau jangan-jangan hanya karena ketidakinginan mereka untuk berbagi (*pelit*)? Perlu adab dan etika dalam menegur orang yang salah. Akan lebih manusiawi jika Bapak Haji dan Ibu Hajah tadi mendekati mereka dengan baik-baik, memberitahukan kepada mereka bahwa yang mereka lakukan, mengambil buah rambutan tanpa izin mereka itu tidak baik. Bisa dibicarakan dan diberitahukan dengan baik dan sopan. Tidak dengan merekam video dan meneriaki maling. Karena berada di posisi yang benar, tidak lantas menjadikan kita berhak untuk memaki orang, membuat kita jadi jumawa, merasa paling benar dan paling baik. Berhati-hatilah dalam memilih kata, karena kata yang kita gunakan dapat berbalik menyerang kita. 

Sebutir rambutan yang diambil tanpa izin bisa jadi bukan barang haram dan bisa menjadi berkah bagi pemilik pohon rambutan tersebut, apabila si pemilik tadi mengikhlaskannya. 

Heran dengan perilaku Pak Haji dan Bu Hajah, kemudian, hal lain pun muncul di kepala saya. Bagaimana mungkin sebagai guru, pengajar, pendidik, mereka bisa mengajarkan etika dan adab kepada anak didiknya, jika mereka sendiri tidak bisa menunjukkan adab yang baik? Bagaimana mungkin mereka bisa mengajari cara berbagi dengan sesama, kalau soal sebiji rambutan pun merek teriak maling? Apakah Bapak Haji dan Bu Hajah lupa bahwa kurung batang mereka tidak berjalan sendiri ke kuburan? Tidak seperti lampor yang terbang ke sana ke mari sendiri. 

Comments

Popular Posts