Skip to main content

Featured

Zidan Namanya

Zidan namanya. Pertama ketemu Zidan di tukang sempol ayam, dekat entrance 7 alun-alun Kota Bogor, tadi malam. Dia menawarkan donat, 1 pak isi 2 seharga Rp.5.000. Saya beli 1 pak dan menawarkan sempol ayam. Zidan mengangguk. Tadi pagi, di dalam alun-alun, saya bertemu Zidan lagi. Kali ini, dia tidak membawa donat, melainkan beberapa pak tissue. Saya tegur dia, "Hey, tadi malam jualan donat kan ya?" "Iya Bu, donat punya orang. Sekarang saya bawa tissue, ini juga punya orang. Ibu mau tissue?" Jawabnya. "Boleh deh satu", kata saya. Saya bayar tissuenya, " Ya Allah, makasih banyak Bu". Suara Zidan lirih. Hati saya teriris. Tiba-tiba seorang Ibu lewat sambil membentak, "Jangan di jalan dong!" Sorry, salah kami, ngobrolnya di jalur jalanan dalam alun-alun. Saya gandeng Zidan ke arah pilar taman, dan kemudian kami duduk ngobrol berdua. Kata Zidan ibunya sudah meninggal, ayahnya ngamen di alun-alun, dan kadang di Terminal Loji. "Bapak ngame...

duuh si bapak

Kejadiannya udah cukup lama. Suatu siang, saya lagi duduk-duduk santai diberanda rumah ketika lewat seorang penjual bangku bambu. Kemudian Bapak penjual tadi berhenti dan sambil menurunkan dagangannya, bangku panjang bersandaran kepala yang terbuat dari bambu, ia menawarkannya kepada saya.
“Neng..bangku neng?”
“ngga pak.” Saya menoleh sekilas tanpa ada minat untuk membeli bangku yang ia tawarkan.
Namun begitu melihat wajah tua si Bapak yang kelelahan dan bajunya yang basah oleh keringat, saya ragu dengan jawaban saya tadi.
“emang berapa harganya pak?" Tanya saya kemudian sambil memperhatikan wajahnya. Saya tafsir umurnya pertengahan lima-puluhan. Namun bisa saja tekanan ekonomi membuatnya terlihat jauh lebih tua dari usia sebenarnya.
“Dua puluh lima ribu neng.” Tertegun saya mendengar jawabannya.
“Jalan ya pak?" Saya dan pertanyaan bodoh saya kerap kali muncul tanpa kontrol.
“Iya…” (Ya iyalah, bermandi peluh, lewat jalan dan gang sempit, tidak perlu variable lain untuk menandakan ia jalan kaki) Lebih tertegun lagi saya. Keluar masuk kampung sambil memikul bangku bambu panjang yang dijual seharga Rp. 25.000, itu belum ditawar lho. Berkilo-kilo meter, dengan beban yang sebesar itu. Kalau dagangannya laku, uang yang didapat hanya sejumlah itu, ga mungkin lebih, karena barang dagangan yang bisa dibawa ya cuma satu itu. Setelah dipotong untuk biaya makan dan transport, terbayang oleh saya berapa uang yang akan diterima istrinya yang menunggu dirumah. Kemudian saya pun mencoba menghitung, berapa uang yang dialokasikan untuk makan keluarga sehari-hari, biaya sekolah anak-anak, biaya berobat kalau sakit. Hati saya mengkerut.

* * *

Bagi sebagian orang, cerita diatas mungkin cuma bisa dilihat di sinetron yang notabene cuma karangan manusia. Bagi sebagian orang itu, ngga akan pernah terbayang ada orang yang menjalani kehidupan semacam itu. Well, kehidupan semacam itu ada guys, kita hanya perlu membuka mata lebih lebar lagi, mau lebih peka dan perduli lagi dengan orang-orang disekitar kita untuk melihat hal-hal seperti itu.

Comments

zuki said…
terima kasih ceritanya ... ya .. ya .. (merenung ... membulatkan tekad) ...

Popular Posts