Skip to main content

Featured

Zidan Namanya

Zidan namanya. Pertama ketemu Zidan di tukang sempol ayam, dekat entrance 7 alun-alun Kota Bogor, tadi malam. Dia menawarkan donat, 1 pak isi 2 seharga Rp.5.000. Saya beli 1 pak dan menawarkan sempol ayam. Zidan mengangguk. Tadi pagi, di dalam alun-alun, saya bertemu Zidan lagi. Kali ini, dia tidak membawa donat, melainkan beberapa pak tissue. Saya tegur dia, "Hey, tadi malam jualan donat kan ya?" "Iya Bu, donat punya orang. Sekarang saya bawa tissue, ini juga punya orang. Ibu mau tissue?" Jawabnya. "Boleh deh satu", kata saya. Saya bayar tissuenya, " Ya Allah, makasih banyak Bu". Suara Zidan lirih. Hati saya teriris. Tiba-tiba seorang Ibu lewat sambil membentak, "Jangan di jalan dong!" Sorry, salah kami, ngobrolnya di jalur jalanan dalam alun-alun. Saya gandeng Zidan ke arah pilar taman, dan kemudian kami duduk ngobrol berdua. Kata Zidan ibunya sudah meninggal, ayahnya ngamen di alun-alun, dan kadang di Terminal Loji. "Bapak ngame...

terakhir bahagia kapan?

Kapan terakhir kali bahagia? Maksud saya, bahagia yang betul-betul bahagia, sampai kaki kita terasa tidak menginjak bumi. 

Saya pernah merasakan kebahagiaan super dahsyat seperti itu. Dua kali malah. Pertama, ketika saya melihat nama saya tercantum dalam pengumuman penerimaan mahasiswa baru di suatu perguruan tinggi negeri, yang diumumkan di harian Kompas pada waktu itu. Saya masih ingat rasa bahagia dan bangga yang memenuhi ruang hati saya pada saat itu, ke seluruh dinding hati saya, sampai ke sudut-sudutnya. Seolah-olah hati ini akan lompat keluar. Rongga dada saya sesak, tidak mampu menampung sensasi bahagia yang demikian besar. Saya seperti kehabisan napas.

Momen kedua adalah ketika di suatu sore Jakarta yang pengap dan sesak, di layar monitor PC saya muncul dialog box incoming mail yang masuk ke email saya. Setengah hati saya buka, hanya memerlukan waktu beberapa detik untuk membuat mulut saya ternganga, napas saya hilang sesaat, diserang euphoria berlebihan. "We are pleased to have you as a new member of our company", sepenggal kalimat pembuka itu, mengubah pengap Jakarta sore menjadi pengap yang luar biasa indah dan megah. Seperti megah dan mewahnya langit sore tanpa awan. Belum pernah saya merasa sebahagia itu di Jakarta. 

Keesokan harinya, masih dalam euphoria tinggi, saya melangkah ke ruangan atasan saya, seorang perempuan Jepang paruh baya berperawakan mungil,  untuk menyampaikan pengunduran diri saya dan bergabung dengan suatu perusahaan berakhiran SDN. BHD. di Kuala Lumpur. Kaki saya melangkah ringan, seperti melayang. Tidak menyentuh bumi sama sekali. And that was the best feeling ever. Ever!

Dan ternyata, bahagia yang terlalu bahagia itu bisa membuat sesak napas, lemas. Seketika gravitasi tidak bekerja, tubuh kita seringan kapas melayang-layang di udara. Kita berada dalam dimensi lain, yang bahkan tidak bisa kita gambarkan dimensi apa itu. Dimensi tidak bernama. Pernah merasakan bahagia sedahsyat itu? 

Comments

Popular Posts