Skip to main content

Featured

GARIS IMAJINER: SEJAUH MANA KITA PERLU BATASAN

Kita manusia, tidak bisa lepas dari peran kita sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, baik dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat luas. Terlepas dari peran apa pun yang kita mainkan dalam hidup ini, sangat penting bagi kita untuk menentukan batasan dalam berhubungan dengan orang lain, bahkan termasuk dengan keluarga dan sanak saudara sendiri.   Garis imajiner yang bernama batasan itu, walaupun tidak kasat mata, memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk identitas, memfasilitasi pertumbuhan, dan menciptakan keseimbangan dalam kehidupan kita.   Batasan membantu kita memahami siapa diri kita sebagai individu. Garis tersebut menandai perbedaan antara apa yang kita anggap sebagai bagian dari diri kita dan apa yang bukan. Misalnya, batasan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi membantu kita mempertahankan keseimbangan yang sehat antara karier dan kebutuhan pribadi kita.   Tanpa batasan yang jelas, mudah bagi identitas kita untuk kabur. Ini dapat mengarah pada k

The very ugly truth

Hidup tidak selalu berjalan seperti yang kita inginkan. Saya mempercayai itu sebenar-benarnya. Kenyataan tidak selalu membuat kita berada di atas angin. Benar, seringkali hidup membuat kita merasa berada di atas angin, terbang ke langit ke tujuh, namun kemudian menghempaskan kita sekuat-kuatnya sampai ke dasar jurang yang paling dalam, gelap, pengap, tanpa udara. Kita pun serasa mati sesaat atau beberapa lama. Hanya yang tangguh yang dapat memaksa dirinya keluar dari jurang kehampaan itu.

Sebagai perempuan lajang di usia 41 tahun, tentu isu terbesar yang saya hadapi adalah jodoh. Walaupun saya tidak menganggapnya isu terbesar, tapi orang di sekitar saya menjadikan itu sebagai isu terbesar saya. Bagaimana tidak, kalau setiap kali saya harus dihadapkan dan disudutkan pada pertanyaan yang sama, kapan NIKAH? Apalagi kalau pertanyaan itu keluar dari mulut ibu saya, wanita yang paling saya hormati dan cintai sejagad raya. Saya bisa bilang apa, selain diam dan menelan mentah-mentah pertanyaan klasik itu. Kalau saja saya tahu kapan saya akan nikah, tentu jawabnya akan gampang. Tapi demi Tuhan, saya tidak tahu sama sekali kapan saya akan nikah, sungguh itu rahasia yang Di Atas. Lantas, apakah saya marah dengan ibu saya yang kerap menanyakan hal di luar kekuasaan saya itu? Tentu saja tidak, saya hanya merasa nelangsa dan sedih belum bisa melakukan apa yang beliau inginkan.

Lalu, apakah sebenarnya saya ingin menikah? Tentu saja IYA. Sumpah mati saya ingin menikah, punya keluarga tempat saya pulang dan berkumpul dengan orang-orang yang saya cintai. Saya berusaha untuk menemukan pendamping saya, dengan membuka diri dan bersedia berkenalan dengan laki-laki. Tapi sebagaimana yang selalu berlaku dalam  hidup ini, malang tak bisa ditolak, untung tak bisa diraih. Seberapapun besarnya keinginan dan usaha saya untuk bertemu dengan calon pendamping saya, sampai saat ini belum berakhir sampai ke pelaminan. Garis finishnya selalu sama, mereka pergi begitu saja, menghilang seperti jin iprit yang turun ke bumi dan berpura-pura menjadi manusia.

Saya pernah dekat dengan duda beranak satu, yang kemudian baru beberapa saat dekat, tiba-tiba memutuskan untuk kembali ke mantan istrinya, dengan alasan demi anaknya. Why in the world did you get divorced in the first place!? 

Terakhir saya ketemu dengan laki-laki umur 43 (katanya). Walaupun saya saat itu sedang capek secapek-capeknya, demi niat baik, saya bersedia ketemu dengannya. Mengingat sudah beberapa kali saya menolak ajakannya untuk ketemu, karena memang timing yang tidak terlalu bagus. Terus apa yang terjadi setelah kami bertemu? Tidak ada lagi kabar dari dia. Saya tahu, saya tidak cantik, jauh dari kategori cantik. Dan saya tahu juga, laki-laki sangatlah visual, mereka akan jatuh cinta dengan tampang dan physical appearance. Tapi bukankah sebelum ketemu langsung, saya sudah kasih foto saya ke dia, foto asli, tanpa photoshop, tidak ada efek 360. Harusnya dia tahu dong, kalau saya tidak cantik.

Hal-hal di atas sungguh membuat saya muak sejadi-jadinya.

To focus on the bright side, dengan kondisi sekarang ini, saya jadi punya waktu yang lebih banyak untuk keluarga dan pekerjaan saya, tidak perlu mengalokasikan waktu untuk laki-laki manapun yang cemen atau yang hanya mementingkan fisik, atau lebih parah lagi, laki-laki cemen yang hanya melihat fisik.

Comments

Popular Posts